Berita  

Sejauh Mana Peran Diskominfo Anggarkan Kerjasama Publikasi dengan Perusahaan Media

Bondowoso, Siber Nusantara.co.id

Publikasi merupakan bagian penting dalam tata kelola pemerintahan modern. Dalam era keterbukaan informasi, masyarakat berhak tahu apa saja yang dilakukan pemerintah daerah, dan di sinilah peran Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi sentral.

Namun, transparansi tak hanya menyangkut apa yang disampaikan, tetapi juga bagaimana dan melalui saluran apa informasi itu disebarkan. Di sinilah muncul polemik mengenai penggunaan anggaran publikasi di setiap Dinas Kominfo di tiap daerah yang telah dianalisa dari beberapa Kabupaten/Kota mengalir ke sejumlah media siber dengan Domain Authority (DA) dan Domain Rating (DR) di bawah angka 10.

Disampaikan oleh Arik Kurniawan Direktur Lensa Nusantara, Pertanyaannya sederhana namun fundamental: apakah ini pilihan strategis, atau justru bentuk pemborosan anggaran?

Kualitas Media, Kualitas Publikasi

Domain Authority dan Domain Rating adalah indikator yang umum digunakan dalam dunia digital untuk mengukur otoritas dan kekuatan suatu situs web di mesin pencari.

Meski bukan satu-satunya tolak ukur, DA dan DR yang rendah mengindikasikan bahwa media tersebut minim visibilitas, memiliki lalu lintas pembaca yang rendah, serta daya jangkaunya terbatas.

“Artinya, pesan-pesan pemerintah yang dipublikasikan melalui media semacam itu sangat mungkin tak sampai ke khalayak luas”. Jelas Arik.

BACA JUGA :
Kapolres Pimpin Apel Bhabinkamtibmas

Lalu mengapa anggaran publikasi justru diarahkan ke media yang secara digital dinilai kurang mumpuni?

Apakah Kominfo Memiliki Standar Penilaian?

Arik yang juga Founder Ijen Media Network mempertanyakan yang dinilai krusial dan patut diajukan adalah: apakah Dinas Komunikasi dan Informatika sebagai pihak yang berkompetisi dalam menentukan kerjasama dengan perusahaan media yang wajib hukumnya memiliki acuan atau standar tertulis dalam menilai kelayakan media untuk menjadi mitra publikasi?

“Jika ada, apakah indikator tersebut mencakup parameter objektif seperti legalitas perusahaan pers, performa digital (seperti DA dan DR), lalu lintas pembaca (traffic), hingga konsistensi pemberitaan?”, Tambah Arik.

Jika tidak ada acuan yang jelas, maka keputusan penganggaran menjadi rentan terhadap subjektivitas.

Dalam praktiknya, pemilihan media seharusnya tidak dilakukan semata berdasarkan kedekatan personal atau sekadar formalitas, melainkan harus melalui proses evaluasi berbasis data yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

Arik menambahkan, Hingga saat ini, belum ditemukan informasi terbuka dari Diskominfo di berbagai daerah mengenai sistem penilaian yang digunakan untuk menentukan media layak publikasi.

Hal ini membuka ruang bagi publik untuk bertanya: apa dasar pemilihan media rekanan tersebut? Apakah kualitas menjadi pertimbangan utama?

BACA JUGA :
Mudahkan Akses Jalan Desa, Satgas TMMD 116 Kodim 0822 Bondowoso Bangun Paving Stone

Potensi Konflik Kepentingan dan “Media Titipan”

Tak sedikit pihak yang menilai bahwa media-media dengan DA/DR rendah kerap kali hanya digunakan sebagai alat formalitas, bukan sebagai saluran komunikasi publik yang efektif.

“Sehingga, Fenomena media titipan, yakni situs-situs berita yang dibuat hanya untuk menampung anggaran publikasi tanpa benar-benar berfungsi sebagai media informasi publik, menjadi perhatian tersendiri, apalagi menjelang tahun politik atau saat proyek-proyek tertentu tengah berlangsung”. Ungkap Arik yang juga Ketua SMSI Bondowoso.

Jika arah belanja publikasi tidak jelas dan tidak berdasarkan kualitas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas informasi, melainkan juga kredibilitas pemerintah daerah secara keseluruhan.

Transparansi Anggaran Jadi Kunci

Masyarakat berhak tahu berapa total dana publikasi yang dianggarkan, siapa saja penerima manfaatnya (dalam hal ini, media), dan berdasarkan kriteria apa pemilihan dilakukan.

“Transparansi ini penting bukan hanya untuk memastikan akuntabilitas, tapi juga agar publik bisa menilai apakah kebijakan ini sejalan dengan semangat pelayanan informasi yang inklusif dan berdaya jangkau luas”. Ujarnya.

Sebagai contoh, jika satu artikel di media dengan DR di bawah 10 dibayar senilai Rp. 1 juta, maka dibandingkan dengan platform dengan DR di atas 20, yang memiliki pembaca ribuan per hari, investasi tersebut tampak kurang masuk akal.

BACA JUGA :
Dandim 0822 Bondowoso Kunjungi Bazar Murah Ramadhan

Padahal, dana publikasi bukan sekadar soal “menghabiskan anggaran”. tapi seharusnya menjadi investasi strategis untuk membangun citra dan kredibilitas pemerintah di mata publik.

Rekomendasi: Audit dan Evaluasi Internal

Langkah awal yang dapat ditempuh adalah melakukan evaluasi internal secara menyeluruh terhadap pola belanja publikasi Kominfo.
Pemerintah daerah perlu menyusun standar teknis minimum untuk media rekanan, mulai dari otoritas digital, struktur redaksi, hingga keterbacaan konten. Proses ini tidak harus melibatkan lembaga luar, cukup dengan membangun sistem penilaian internal yang objektif, terbuka, dan dapat diaudit.

Lebih dari itu, pendekatan publikasi tidak bisa semata-mata administratif. Harus ada strategi komunikasi publik yang menyeluruh, dengan mempertimbangkan efektivitas saluran, segmentasi audiens, serta kualitas narasi yang dibangun

“Publikasi pemerintah bukan hanya soal menggugurkan kewajiban informasi. Ini adalah soal membangun kepercayaan publik. Dan kepercayaan tak bisa dibeli dengan anggaran besar jika disalurkan ke saluran yang salah”. Pungkasnya.